Beda Nasib Ckidang dan Ciletuh.

amien mahendra
8 min readApr 11, 2022

--

Cikidang dan Ciletuh adalah dua kecamatan di kabupaten Sukabumi Jawa Barat yang terhitung masuk ke dalam wilayah rural, artinya lingkungan alam di dua daerah tersebut masih cukup terjaga dan belum terlalu mengalami eksploitasi yang dilakukan oleh manusia. Terletak di sebelah barat-barat daya sukabumi, dua daerah tersebut memiliki status yang berbeda dari aspek lingkungan. Cikidang digadang-gadang akan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang berbasis pada pembangunan infrastruktur fisik terutama mega proyek Bukit Algoritma sedangkan Ciletuh menjadi salah satu cagar alam yang masuk ke dalam perlindungan Unesco. Perbedaan status ini menjadi kontradiksi dalam rencana-rencana masa depan yang akan dilakukan manusia entah diwakili oleh pemerintah, perusahaan atau masyarakat di dua wilayah tersebut. Berangkat dari sama-sama dua daerah yang antah berantah, dengan kebijakan yang menghasilkan dua status berbeda tersebut akhirnya tidak menutup kemungkinan bentang alam dan tenurial di dua daerah tersebut akan sangat berbeda di masa mendatang.

Kebijakan pengkhususan dua Kawasan tersebut juga berasal dari dua sumber otoritas yang bekerja di level berbeda, KEK ditetapkan oleh pemerintah negara untuk menstimulus masuknya investasi di atas Rp 1 triliun sedangkan Geopark ditetapkan oleh Unesco yang merupakan salah satu badan internasional di bawah bender Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dua otoritas kebijakan tersebut berada di ranah implementasi kebijakan yang berbeda, oleh karena itu kemungkinan keuntungan yang didapat dua daerah tersebut juga akan berbeda satu sama lain. Selain itu, rencana masa depan yang ditetapkan untuk dua daerah tersebut juga cenderung akan berbeda, masalah yang diprediksi akan muncul dari dua kebijakan yang berbeda tersebut akan saling silang satu sama lain.

Kawasan Ekonomi Khusus akan menjadi fokus utama dalam tulisan ini, kebijakan KEK adalah kebijakan yang sangat seksi dan menarik perhatian investor serta perusahaan untuk bisa mendapatka status KEK dalam lingkup lahan yang telah berada di bawah pengelolaan mereka. Branding Bukit Algoritma adalah term baru yang digunakan untuk menyebut wilayah KEK Cikidang, Bukit Algoritma yang menjadi mega proyek di daerah Cikidang ini akan menggunakan lahan seluas 888 hektare dengan berbagai bangunan yang akan didirikan (Yanwardhana, 2021). Proses untuk mendapatkan status KEK ini tidak hanya dikejar dan diupayakan oleh pemerintah Jawa Barat dan kabupaten Sukabumi, tetapi juga terdapat peran aktor swasta yang turut ikut campur dan memiliki kepentingan tersendiri agar Cikidang menjadi KEK yang dianggap sangat menguntungkan.

Daerah Cikidang adalah daerah pada umumnya di Jawa Barat, tepatnya di kabupaten Sukabumi yang mungkin sekitar sepuluh tahun yang lalu tidak terlalu dikenal oleh masyarakat luas. Pada faktanya hingga saat ini memang belum terjadi apa-apa di Cikidang, tetapi rencana pembangunan masa depan di daerah tersebut menjadi salah satu proyek besar yang melibatkan banyak aktor mulai dari pemerintah, perusahaan swasta, investor dan masyarakat. Cikidang sebenarnya telah masuk rencana menjadi KEK di tahun 2017, proses pelengkapan berkas berjalan selama kurang lebih satu tahun. Status KEK mendapat kemudahan fasilitas dan insentif dari pemerintah, salah satunya adalah pengurangan pajak penghasilan 20–100% selama 10–25 tahun bagi investasi di atas 1 triliun dengan syarat tertentu (Renaldi, 2021). Kemudahan insentif pengurangan pajak penghasilan ini adalah “jalan pintas” yang coba ditempuh oleh pemohon KEK terlebih ketika ada wacana mega proyek dengan nilai 18 triliun, PT Bintang Raya Loka Lestari adalah pemohon secara administrati agar Kawasan Cikidang menjadi KEK. Selain pengurangan pajak, beberapa kemudahan dan fasilitas lain juga disediakan negara melalui UU Nomor 39 tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus terutama dalam bab VI yang terdiri dari pasal 30 sampai 47.

Permohonan status menjadi KEK untuk daerah Cikidang ditolak oleh Dewan Nasional KEK pada tahun 2018, Enoh Suharto Pranoto selaku Sekretaris Dewan Nasional KEK mengatakan bahwa Cikidang belum memenuhi syarat administratif KEK sehingga berkas pengajuan dikembalikan ke PT Bintang Raya Loka Lestari sebagai pemohon (Renaldi, 2021). Status KEK yang diupayakan didapat oleh daerah Cikidang masih menggantung karena kurangnya kelengkapan administrasi, pada tahun 2018 Cikidang masih menjadi daerah yang “biasa” saja di Sukabumi.

Status KEK daerah Cikidang mulai dibahas kembali ketika awal tahun 2021 rencana pembangunan mega proyek Bukit Algoritma muncul dan menargetkan wilayah Cikidang sebagai tempat yang dinilai strategis untuk membangun ‘Silicon Valley’nya Indonesia tersebut. Proyek tersebut menjadi angin segar bagi PT Bintang Raya Loka Lestari yang pada 2018 tertolak dalam pemohonan KEK kepada Dewan Nasional KEK, dengan adanya mega proyek tersebut tentu saja investasi yang akan masuk ditaksir akan jauh di atas Rp. 1 triliun yang mana angka tersebut adalah syarat minimal nilai investasi di dalam KEK. PT Bintang Raya Loka Lestari bukan aktor baru di wilayah sekitar Sukabumi, perusahaan ini telah sejak 2009 memegang hak Kelola lahan seluas 11.000 hektare yang mayoritas izin lahan adalah hak guna usaha dan hak guna bangunan (Renaldi, 2021). Pemegang proyek pembangunan bukit algoritma ini adalah PT Kiniku Bintang Raya dan PT Amarta Karya, PT Amarta Karya adalah BUMN yang dipercaya untuk menangani mega proyek ini sedangkan PT Kiniku Bintang Raya yang sejatinya adalah merger antara PT Kiniku Nusa Kreasi dengan PT Bintang Raya Loka Lestari adalah perusahaan swasta pencari modal bagi mega proyek Bukit Algoritma (Yanwardhana, 2021).

Ciletuh di sisi lain, adalah daerah yang pada awalnya juga diagendakan menjadi KEK sebelum akhirnya mendapat status lain dari Unesco. Status KEK yang diusahakan oleh pemerintah Jawa Barat untuk wilayah sekitar Kabupaten Sukabumi akhirnya dialihkan ke Cikidang dengan pertimbangan aksesibilitas yang lebih memadai dari Jakarta karena adanya TOL Bocimi. Beruntung bagi Ciletuh, alih-alih menjadi KEK Ciletuh justru menjadi taman bumi (Geopark) yang statusnya ditetapkan oleh Unesco dan menjadi bagian dari Unesco Global Geopark (UGG) (Siregar, et. al., 2020). Dengan status yang disandangnya, Ciletuh menjadi tempat yang terjaga dari eksploitasi lingkungan dan atau Sumber daya alam seperti yang diabayangkan akan terjadi di Cikidang, “Sebagai taman bumi Geopark nasional Ciletuh merupakan kawasan Geowisata yang di dalamnya harus ada pelestarian geodiversity, biodiversity, dan cultural diversity apalagi syarat utama sebuah Geopark Internasional harus ada pelestarian terhadap geodiversity, biodiversity, dan cultural diversity…” (Siregar, et. al., 2020). Dua status yang berbeda ini tentu dihasilkan dari dua orientasi yang berbeda dalam melihat Ciletuh dan Cikidang, Ciletuh dengan status UGG-nya dilihat sebagai lingkungan alam yang kaya akan keanekaragaman hayati dan untuk itu perlu untuk dilestarikan, sedangkan Cikidang dengan status KEK-nya diasumsikan sebagai daerah tanpa tuan yang bisa dengan mudah dieksploitasi untuk pembangunan.

Potensi yang dimiliki Ciletuh utamanya adalah bentang alam yang terdiri dari berbagai komponen seperti bukit, gunung, air terjun, sungai dan pantai. Dengan potensi yang dimiliki, Ciletuh dapat diproyeksikan menjadi tujuan wisata (ecotourism) yang dijalankan menggunakan perspektif pengelolaan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Potensi wisata di Ciletuh secara lebih lanjut diharapkan akan menyejahterakan masyarakat di sekitarnya dalam hal sosial dan ekonomi, “sebagaimana diarahkan pada kongres ke 30 geologi internasional di Beijing tahun 1966, dimana disebutkan bahwa Geopark selain bertujuan untuk perlindungan dan pelestarian kekayaan geologi, juga ditujukan untuk keberlanjutan ekonomi dan sosial masyarakat sekitarnya.” (Eder and Patzak, 2004; Wang, 2015 dalam Yanuar et. al., 2018). Lagi-lagi, meskipun status Ciletuh adalah Geopark dalam kebijakan internasional geopark sendiri menekankan pada pentingnya peran geopark sebagai alat penyejahtera masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Ideologi ekonomi-politik begitu dalam terinternalisasi ke seluruh institusi legal-formal di seluruh dunia sehingga Ciletuh yang seolah-olah merupakan ekosistem konservasi sekalipun pada akhirnya akan tetap kembali ditujukan untuk memenuhi hajat ekonomi. Rasa-rasanya

Kembali ke Cikidang, proyek pembangunan bukit Algoritma yang diharapkan bisa membawa status KEK untuk Cikidang sejak awal tidak pernah berorientasi pada keberlanjutan lingkungan yang tentunya dilatarbelakangi oleh ideologi ekonomi-politik yang begitu kuat. Berbeda dengan Ciletuh yang meskipun pada akhirnya tujuan utama dari status Geopark adalah menyejahterakan masyarakat di bidang ekonomi dan sosial, konservasi masih menjadi satu konsep yang setidaknya kita bisa berharap sedikit banyak kepadanya tentang perlindungan lingkungan untuk keberlangsungan kehidupan makhluk hidup lain di luar manusia. Perbedaan “nasib” antara Cikidang dan Ciletuh ini menimbulkan banyak kesenjangan dalam hal ekonomi utamanya, Cikidang dikebut untuk secara langsung menghasilkan keuntungan ekonnomi dari pembangunan bukit algoritma tanpa memperhatikan keseimbangan lingkungan alam di sekitarnya. Sedangkan Ciletuh menjadi Kawasan konservasi yang masih memperhatikan aspek keberlanjutan ekosistem alam meskipun secara lebih lanjut juga ditujukan untuk menjadi fasilitas yang menyejahterakan masyarakat sekitar.

Bukit Algoritma yang menjadi mega proyek bernilai milyaran raupiah tidak terlepas dari ideologi ekonomi-politik yang melatarbelakanginya, kemajuan teknologi yang dianggap sebagai satu-satunya jalan menuju kesejahteraan menafikan fakta bahwa di sekitar daerah Cikidang konsep teknologi yang dipahami oleh masyarakat sekitar masih sangat terbatas. Konsep-konsep teknologi 4.0 seperti yang digagas oleh Budiman Sudjatmiko melalui Inovator 4.0 merupakan hal yang masih asing bagi masyarakat, contoh lain keterasigan pemahaman massyarakat adalah apa yang termasuk ke dalam tahap 1 proyek pembangunan Bukit Algoritma antara lain seperti bangunan Kawasan teknologi quantum dan kecerdasan buatan, nanoteknologi, bioteknologi, semi-conductor dan energy storage (Rosana, 2021). Lalu kemudian, kesejahteraan yang diharapkan dialami oleh masyarakat secara langsung ternyata terlebih dahulu dirasakan oleh aktor-aktor utama yang terlibat dalam proyek pembangunan Bukit Algoritma. Aktor-aktor seperti perusahaan pemegang proyek (PT. Amarta Karya, PT. Kiniku Nusa Kreasi dan PT. Bintang Raya Loka Lestari) menikmati hasil investasi yang bernilai triliunan rupiah dan mengorbankan bentang alam dengan merusak ekosistem lahan yang ada di Cikidang. Lagi-lagi, nasib Cikidang dan Ciletuh berbeda dalam kelestarian ekosistem lahan. Tujuan kebijakan yang diterapkan di dua daerah tersebut menempuh perspektif yang berbeda meskipun bertujuan sama. Ciletuh menggunakan ideologi environmentalism dengan geopark-nya yang menkonservasi keanekaragaman hayati yang ada di dalam wilayahnya, sedangkan Cikidang menggunakan ideologi ekonomi-politik yang berorientasi pada pembangunan infrastruktur Bukit Algoritma dengan cara membuka lahan seminimalnya 888 hektare untuk mencapai tujuan kesejahteraan.

Cikidang dan Ciletuh menjadi daerah yang padanya diterapkan status yang dilatarbelakangi kebijakan dan ideologi yang berbeda, perbedaan tersebut berasal dari cara pandang negara terhadap bentang alam yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan Bersama yaitu kesejahteraan. Ciletuh menjadi asset bagi negara Indonesia karena bentang alamnya yang setidaknya akan terjaga dalam beberapa tahun ke depan karena status geopark yang disandangnya, tujuan kesejahteraan masyarakat memang menjadi tujuan utama tetapi keberlanjutan ekosistem kehidupan juga bukan hal yang tidak penting. Cikidang menerima nasibnya menjadi KEK, status yang sangat identik dengan ideologi ekonomi-politik ditempati sebagai wilayah pembangunan mega proyek Bukit Algoritma yang akan mengakomodasi kepentingan Ilmu pengetahuan dan teknologi masa depan, tentu pilihan investasi besar ini mau tidak mau harus mengorbankan faktor lingkungan dan keberlanjutan ekosistem di sekitarnya. Menarik jika melihat dua daerah ini dalam proyeksinya mencapai kesejahteraan di masa depan, dengan cara dan metode yang berbeda apakah masing-masing mampu menghadirkan kesejahteraan yang diinginkan oleh masyarakat? Tentu jawaban dari pertanyaan ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar, bahwa di masa depan terdapat dua investasi yang pemerintah negara Indonesia lakukan dan siap untuk diambil hasilnya. Semoga keduanya membawa masyarakat kepada kesejahteraan kehidupan.

Referensi

Renaldi, A. (2021). Bukit Algoritma: Status Gantung KEK Sukabumi. Jakarta: tirto.id https://tirto.id/bukit-algoritma-status-gantung-kek-cikidang-sukabumi-gcXY diakses pada 30 Juni 2021 pukul 06.51 WIB.

Rosana, Fransisca C. (2021). Pembangunan Bukit Algoritma ‘Silicon Valley’ Diklaim Tak Gunakan APBN. Jakarta: Bisnis Tempo.co https://bisnis.tempo.co/read/1453093/pembangunan-bukit-algoritma-silicon-valley-diklaim-tak-gunakan-apbn/full&view=ok diakses pada 30 Juni 2021 pukul 09.44 WIB.

Siregar, H., Nurhayati, N., & Nurwullan, S. (2020). Kepastian Hukum Perlindungan Ciletuh-Palabuhan Ratu Unesco Global Geopark Sebagai Kawasan Geowisata Di Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Proceedings Universitas Pamulang, 1(1).

Yanuar, Y., Anna, Z., Rosana, M. F., Rizal, A., Sudrajat, A., & Zakaria, Z. (2018). Keberlanjutan Pengembangan Geopark Nasional Ciletuh-Palabuhanratu Dalam Perspektif Infrastruktur. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum, 10(1), 64–76.

Yanwardhana, E. (2021). Bukit Algoritma ‘Silicon Valley’ RI Rp 18 T, Investor Antre!. Jakarta: cnbcindonesia. https://www.cnbcindonesia.com/news/20210412162233-4-237204/bukit-algoritma-silicon-valley-ri-rp-18-t-investor-antre diakses pada 30 Juni 2021 pukul 06.19 WIB.

Yanwardhana, E. (2021). Heboh Silicon Valley RI Bukit Algoritma. Jakarta: Cnbdindonesia. https://www.cnbcindonesia.com/news/20210413081456-4-237328/heboh-silicon-valley-ri-bukit-algoritma-di-sukabumi/1 diakses pada 30 Juni 2021 pukul 08.23 WIB.

--

--

amien mahendra

Ethnographic connoisseur of social change in the midst of changing life