Kesehatan Seksual : Pengarusutamaan Narasi Penggunaan Alat Kontrasepsi Sebagai Langkah Pencegahan Penularan Penyakit Menular Seksual.

amien mahendra
5 min readApr 10, 2022

--

https://lifepack.id/pelajari-apa-saja-penyebab-penyakit-menular-seksual/

Seksualitas seringkali di masih dianggap sebagai hal yang tabu untuk diangkat sebagai pembahasan dalam perbincangan di kehidupan sosial, seksualitas adalah hal yang dianggap privat karena asosiasi seksualitass yang dipadankan kepada konsep pornografi dan pornoaksi yang beberapa tahun lalu sempat menjadi polemik dengan munculnya UU tentang pornografi dan pornoaksi. Sejak UU tersebut dikeluarkan dan kemudian berlaku, narasi tentang seksualitas selalu dikaitkan dengan pornografi dan pornoaksi, sehingga seiring berjalannya waktu narasi tentang seksualitas semakin dianggap sebagai hal tabu. Diskursus seksualitas yang sebenarnya jauh lebih luas daripada pornografi dan pornoaksi terpaksa mengalami penyempitan, selain disebabkan karena UU pornografi dan pornoaksi juga didukung dengan realitas sosial masyarakat Indonesia yang semakin menginternalisasi nilai-nilai islam sejak runtuhnya rezim orde baru, “The bill pertained to the production, distribution and consumption of pornographic material but it also related to “porno-action,” which concerned matters of decency and moral conduct. The bill proposed to regulate public affection, women’s dress and erotic performances or images.” (Van Wichelen, 2010). Undang-undang tentang pornografi dan pornoaksi sedikit banyak membantu penyempitan perspektif masyarakat tentang seksualitas, represi terhadap gairah seksual juga terjadi dengan anggapan bahwa seksualitas adalah hal yang tabu jika diperbincangkan di medium yang bersifat public.

Nilai islam yang semakin terinternalisasi dalam cara berfikir masyarakat Indonesia memojokkan diskursus seksualitas dan gender. Seksualitas dipersempit sebagai hal yang hanya berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi sedangkan gender dikerdilkan dengan adanya dikotomisasi peran gender antara laki-laki dan perempuan yang dalam islam sangat bertolak belakang antara ranah publik dan privat. ”Seks yang amoral meliputi seks sebelum dan di luar perkawinan, seks queer, prostitusi dan representasi seks di ranah publik, yang semakin dicap sebagai pornografi” (Benett, 2018), mengutip Benett bahwa seksualitas atau hubungan seksual benar-benar dikerdilkan dengan definisi tentangnya yang hanya dianggap bermoral jika dilakukan di dalam pernikahan sedangkan di luar itu atau seks dengan kondisi yang disebutkan Benett di atas dianggap amoral.

Perspektif masyarakat menjadi semakin sempit terhadap seksualitas dan atau hubungan seksual, hubungan seksual yang dianggap amoral dianalogikan sebagai sumber utama penularan penyakit-penyakit menular seksual, “Perilaku seks yang menyimpang atau amoral secara langsung disamakan dengan dan disalahkan sebagai buruknya kesehatan seksual serta disalahfahami sebagai penyebab PMS termasuk HIV.” (Benett, 2018). Semua perilaku hubungan seksual di luar pernikahan dianggap sebagai biang penularan penyakit menular seksual, sedangkan hubungan seksual yang dialandasi pernikahan dianggap sebagai hubungan seksual yang benar, aman dan tidak beresiko.

Perspektif tentang perilaku hubungan seksual yang dianggap amoral ini dipersulit dengan asumsi yang juga berkembang di masyarakat Indonesia, yaitu asumsi bahwa pengguna alat kontrasepsi yang diperjual-belikan secara bebas di pasaran adalah mereka yang melakukan hubungan seksual yang menyimpang dan amoral. Menurut data dari tulisan Budiarti (2015) bahwa sebagian besar responden dalam penelitiannya menganggap perilaku penggunaan kondom adalah perilaku buruk, perbandigannya adalah perilaku buruk dalam pemakaian kondom sebanyak 70 responden (71,4%) dan perilaku baik dalam pemakaian kondom sebanyak 28 responden (28,6%), artinya sampel responden dalam tulisan Budiarti sedikit banyak merepresentasi pandangan masyarakat umum tentang penggunaan kondom. Asumsi penggunaan kondom sebagai perilaku yang buruk dan amoral dalam elaborasi lebih lanjutnya justru mengakibatkan tingginya angka penularan penyakit menular seksual karena enggan mendapat citra negatif dan penghakiman umum “judgement” ketika membeli alat kontrasepsi. Asumsi ini juga yang menyebabkan orang dengan penyakit menular seksual seperti Gonorhea, Klamidiasis, Trikomoniasis, Sifilis, Ulkus mole, Kondiloma akuminata, Herpes simpleks, dan HIV/AIDS (Budiarti, 2015) terpaksa harus hidup dalam stigma dan sudah tentu hidup dalam stigma tidak memberi keuntungan apapun.

Alat kontrasepsi adalah element sentral untuk memutus atau setidaknya mengurangi rantai penularan penyakit menular seksual, dalam hal ini kondom yang bisa dibilang alat kontrasepsi dengan akses termudah untuk dikonsumsi masih sulit untuk didapatkan secara terbuka dan tanpa tekanan. Proses pembelian alat kontrasepsi juga tidak semua menyediakan akses yang mudah, beberapa alat kontrasepsi sulit untuk didapatkan secara terbuka. Kondom yang merupakan alat kontrasepsi mekanik sampai saat ini masih terhitung sulit untuk mendapatkannya, persekusi yang harus didapatkan seseorang yang membeli kondom menyebabkan preferensi menggunakan kondom tidak meningkat secara signifikan seperti peningkatan jumlah penduduk. Logika dasarnya adalah jika pertumbuhan jumlah penduduk tinggi maka jumlah relasi hubungan seksual juga akan meningkat karena kedua premis tersebut adalah relasi yang simultan dan berbanding lurus, karena gairah seksual dimiliki oleh setiap manusia. Isu tentang kondom juga meningkat terkait peran preventifnya untuk mengurangi penularan penyakit menular seksual, terlebih di masa pandemi Covid-19 yang meningkatkan kerentanan masyarakat di berbagai usia untuk tertular penyakit menular seksual. Akses terhadap kondom perlu menjadi perhatian bagi pemangku kebijakan agar masyarakat bisa dengan mudah, terbuka, tanpa tekanan dan bebas mengakses kondom.

https://sains.kompas.com/read/2019/02/07/193400923/4-penyakit-menular-seksual-super-baru-yang-dikhawatirkan-para-ahli?page=all

Peran kondom sebagai alat kontrasepsi pencegah penularan PMS dan kehamilan tidak terencana masih belum diterima secara menyeluruh oleh masyarakat di segala lapisan, pandangan terhadap kondom selama ini masih cenderung berfokus pada aspek moralitas yang menjadi latar belakang penilaian terhadap pengguna kondom. Aspek moralitas pengguna kondom selalu diasosiasikan dengan perilaku seks di luar nikah yang amoral, perilaku seks bukan dengan pasangan sah dan sebagainya, padahal fungsi kondom jauh lebih bermanfaat dari pada citra yang telah dibangun masyarakat tentang kondom. Pengarusutamaan narasi penggunaan kondom oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang usia dan jenis kelamin perlu untuk diagendakan secara massal, agar pemahaman tentang perilaku seksual tidak tumbuh hanya dalam pemahaman dan perspektif yang sempit.

Setidaknya narasi pengarusutamaan “mainstreaming” penggunaan alat kontrasepsi (utamanya kondom) juga telah menjadi bagian dari tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG’s), seperti diungkapkan di salah satu dokumen Lembaga di bawah PBB “By 2030, ensure universal access to sexual and reproductive health-care services, including for family planning, information and education, and the integration of reproductive health into national strategies and programme.”. (UNPF, 2019). Artinya, akses terhadap kesehatan seksual menjadi aspek yang perlu diintegrasikan ke dalam program dan strategi nasional untuk mengurangi jumlah penyakit menular seksual (PMS). Pengarusutamaan narasi penggunaan alat kontrasepsi dapat mendorong pemerintah dan pihak yang berwenang untuk menjamin ketersediaan kondom secara umum serta menyediakan sarana perawatan kesehatan seksual yang dapat diakses seluruh masyarakat. Selain itu, pengarusutamaan narasi penggunaan kondom di lapisan akar rumput masyarakat akan membantu pemerintah dan pemangku kebijakan untuk mengurangi dampak negatif dari perilaku seks yang dilakukan secara tidak aman.

Referensi :

Bennet, L.R. 2018. ‘Moralitas seksual dan pembungkaman tentang kesehatan seksual dalam perawatan infertilitas Indonesia’, dalam L.R. Bennet, S.G. Davies & I.M. Hidayana (ed.), Seksualitas di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Hlm. 207–234.

Budiarti, A. (2015). Hubungan Antara Faktor Predisposisi dengan Perilaku Pemakaian Kondom Untuk Mencegah IMS di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Sangkrah Kota Surakarta (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).

United Nations Population Fund. (2019). Sexual and reproductive health and rights: An essential element of universal health coverage.

Van Wichelen, S. 2010. Religion, politics and gender in Indonesia. New York: Routledge. Chapter 5 ‘Sexualized bodies and morality talk’, hlm. 92–109.

--

--

amien mahendra
amien mahendra

Written by amien mahendra

Ethnographic connoisseur of social change in the midst of changing life

No responses yet