Mural dan Seni Jalanan : Keterbatasan dan Ekspresi Kelaparan Sebagai Bentuk Resistensi.

amien mahendra
5 min readApr 11, 2022

--

Seni jalanan pada umumnya terdiri atas seni mural dan graffiti, pada pembahasan materi Seni Jalanan dipaparkan tentang bagaimana mural dan graffiti digunakan di berbagai negara dengan tujuan masing-masing mulai dari tujuan protes atau perlawanan, sarkas hingga memuat suatu ideologi tertentu. Resistensi dengan menggunakan mural atau graffiti dilakukan oleh para seniman jalanan dengan berbagai tujuan, pada tulisan ini akan dibahas tentang bagaimana wabah pandemi Covid-19 menjadi konteks besar mural-mural diproduksi dengan fokus tentang kelaparan yang diderita masyarakat kelas bawah sebagai hal yang coba diadvokasi para seniman jalanan. Pandemi Covid-19 telah berlangsung kurang lebih 2 tahun, hingga saat tulisan ini ditulis belum ada tanda bahwa wabah ini akan segera berakhir dan masih terus berdinamika dengan munculnya berbagai varian virus baru. Konsekuensi dari kondisi serba terbatas karena pandemi ini adalah berkurangnya jumlah pemasukan yang dapat dihasilkan para pekerja tidak tetap yang mayoritas didominasi masyarakat kelas bawah. Penurunan pendapatan menyebabkan daya beli masyarakat menurun sehingga berimbas pada sulitnya membeli bahan pangan dan akhirnya memunculkan kondisi kelaparan yang tidak dapat dihindarkan.

Mural atau graffiti dalam kapasitasnya sebagai bentuk resistensi dan protes kepada authority adalah ekspresi yang dirasakan masyarakat sebagai audience, ditujukan kepada pihak yang berkuasa atau pemerintah dan peran dari seniman jalanan sebagai pembuat graffiti. Model atau skema konseptual yang menghubungkan tiga element ini dicetuskan Markova (2003) tentang epistemology triadic dari person-alter-object seperti halnya apa yang digunakan Cornish (2012) pada konteks protest, usaha memahami intedependensi antara pembuat graffiti, audience dan isu yang sedang diperdebatkan diantara mereka (Awad et. al., 2017: 162). Skema Markova ini menunjukkan bagaimana keterkaitan antara seniman pembuat graffiti, audience atau masyarakat, authorities atau pemerintah dan isu yang sedang diperdebatkan. Fig 1 :

Keterkaitan antar aktor dalam dinamika seni jalanan graffiti menggambarkan bagaimana wabah dan ekspresi kelaparan juga dapat dikategorikan sebagai resistensi karena terhadap pemerintah sebagai representasi authorities dengan audience masyarakat diadvokasi melalui karya graffiti yang dibuat oleh seniman graffiti. Di Indonesia, kondisi keterbatasan didasari pada konteks pandemi Covid-19 yang memunculkan keterbatasan-keterbatasan tertentu contohnya keterbatasan dalam membeli bahan pangan. Selama Pandemi, muncul mural atau graffiti yang menunjukkan ekspresi kelaparan yang dirasakan masyarakat di berbagai kota. Beberapa contoh dari bentuk resistensi ini antara lain :

https://nasional.tempo.co/read/1496165/aparat-hapus-mural-demokrat-ingat-ini-negeri-demokrasi-bukan-otoriter

Graffiti yang ditemukan di tengerang ini berbunyi “Wabah Sesungguhnya adalah Kelaparan”, ekspresi lapar digunakan sebagai bentuk resistensi dan protes karena lapar dikonotasikan sebagai titik lemah yang dialami seluruh manusia.

https://photo.sindonews.com/view/17884/tolak-penghapusan-street-art-mural-kami-lapar-tuhan-muncul-kembali-di-ibukota

Sedikit berbeda dengan gambar pertama, muatan dalam graffiti pada gambar kedua ini lebih luas dan tidak hanya berfokus pada ekspresi lapar sebagai bentuk resistensi. Terlihat bahwa selain kalimat tentang ekspresi lapar, juga terdapat dua kalimat lain seperti “Yang Bisa Dipercaya dari TV Cuma Adzan” dan “Jangan Takut Tuan-Tuan ini Cuma Street Art”. Graffiti ini menunjukkan bahwa bentuk resistensi ini dapat memuat berbagai macam isu yang dapat diperdebatkan, khususnya di Indonesia yang erat dengan berita penghapusan mural dan graffiti karena dianggap tidak etis dan memperburuk citra pemerintah.

https://news.detik.com/kolom/d-5692829/biarkan-mural-mural-itu-viral

Contoh ketiga ini memiliki kalimat yang sama dengan gambar pertama tetapi tempat yang berbeda, graffiti ini terletak di kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Graffiti ini menjadi legitimasi bahwa kondisi keterbatasan yang menjadi isu yang diperdebatkan “contentious issues” yaitu kelaparan tidak hanya terjadi di sekitar Jakarta atau pulau Jawa saja, tetapi juga menjadi isu di kota dan pulau lain yang mengartikan isu ini dapat dikategorikan sebagai isu nasional dan bentuk resistensinya ditujukan kepada pemerintah pusat.

Keterbatasan dan ekspresi kelaparan sebagai bentuk resistensi juga dapat dilihat pada kasus Bobby Sands di Irlandia, Irlandia atau khususnya kota Belfast yang memang terkenal dengan mural jalanannya yang sangat berkaitan dengan muatan politik.

https://www.irishtimes.com/student-hub/why-is-the-italian-right-obsessed-with-bobby-sands-1.4537398

Kasus Bobby Sands berkebalikan dengan apa yang terjadi di Indonesia dimana ekspresi lapar digunakan sebagai muatan dalam karya Graffiti, Bobby Sands justru mengekspresikan kelaparan dengan melakukan mogok makan hingga ia meninggal di hari ke-66 aksi protesnya. Protes yang dilakukan Sands ini menjadi pemicu aksi protes dengan model yang sama yaitu mogok makan dengan muatan protes atau resistensi yang berbeda-beda, bukan Belfast kalau mural tidak menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya yang tidak pernah satu kata dengan kerjaan Inggris Raya. Mural Bobby Sands akhirnya muncul dan cukup fenomenal sebagai simbol perlawanan dan pada perjalanannya Belfast saat ini menjadi kota dengan wisata muralnya yang dianggap bernilai wisata, jauh dari nilai awal mural-mural tersebut diciptakan yaitu perlawanan terhadap kerajaan.

Seni jalanan yang diwakili oleh Graffiti dan mural tidak dipungkiri mampu menjadi media resistensi yang dapat digunakan untuk mengkritik atau memprotes pemerintah dalam bidang apapun. Ekspresi lapar yang dilandasi konteks pandemi Covid-19 memang akhir-akhir ini menjadi muatan yang dicantumkan dalam karya graffiti dan mural karena berdasar pada fakta yang dirasakan audience atau dalam hal ini masyarakat. Syangnya, seperti pada umumnya resistensi kepada pemerintah atau negara, mural dan graffiti seringkali dihapus oleh apparat penegak hukum sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk membungkam protes dan resistensi masyarakat.

Referensi :

Aris, M. (2021). Biarkan Mural-Mural itu Viral. Diakses dari https://news.detik.com/kolom/d-5692829/biarkan-mural-mural-itu-viral

Awad, S. H., Wagoner, B., & Glaveanu, V. (2017). The street art of resistance. In Resistance in everyday life (pp. 161–180). Springer, Singapore.

Rinaldi, A. (2021). Why is the Italian right obsessed with Bobby Sands?. Diakses dari https://www.irishtimes.com/student-hub/why-is-the-italian-right-obsessed-with-bobby-sands-1.4537398

Utami Putri, B. (2021). Aparat Hapus Mural, Demokrat: Ingat Ini Negeri Demokrasi, Bukan Otoriter. Diakses dari https://nasional.tempo.co/read/1496165/aparat-hapus-mural-demokrat-ingat-ini-negeri-demokrasi-bukan-otoriter

Yulianto. (2021). Tolak Penghapusan Street Art, Mural ‘Kami Lapar Tuhan’ Muncul Kembali di Ibukota. Diakses dari https://photo.sindonews.com/view/17884/tolak-penghapusan-street-art-mural-kami-lapar-tuhan-muncul-kembali-di-ibukota

--

--

amien mahendra

Ethnographic connoisseur of social change in the midst of changing life