Oposisi biner dan wacana genderless technology in future society.

amien mahendra
5 min readApr 10, 2022

--

Gender selama ini atau setidaknya di era post-modern hanya dikategorisasikan kedalam dikotomi oposisi biner yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Oposisi tersebut diterima dan dipahami sebagai satu-satunya konsep tentang gender dan sex atau jenis kelamin, kategori lain diluar dua kategori utama tersebut seringkali tidak dianggap -tidak pernah ada kategori lain di luar dua kategori utama- di tengah masyarakat. Narasi oposisi biner memang begitu kuatnya sampai-sampai narasi lain di luarnya tidak mendapat tempat dalam diskursus mmasyarakat luas. Narasi lain seperti Five sexes (Sterling, 1993) yang salah satu kajian tertulisnya dilakukan Anne Fausto-Sterling tidak pernah sampai pada tataran grassroot, kajian yang kemudian menjadi narasi tentang adanya jenis kelamin lain di luar laki-laki dan perempuan tersebut berhenti hanya sampai ranah akademis universitas atau Pendidikan tinggi.

Narasi oposisi biner telah sedemikian mengakar di setiap kepala anggota masyarakat modern, sehingga seolah-olah narasi di luar hal tersebut merupakan utopia. Tulisan ini mencoba mengangkat narasi baru tentang teknologi masa depan yang mengusung kecanggihan fitur-fitur terbaru tetapi tidak terkotak-kotak dengan kategori gender seperti yang terjadi pada masyarakat modern. Teknologi-teknologi masa depan seperti Artificial Intelligence, Internet of Things, dan humanoid robotics semuanya direncakan untuk dibangun tanpa mengkotakkan fisik mereka kedalam kategori gender yang tersusun atas oposisi biner.

Oposisi biner gender dan sesuatu di luar fisik manusia

Gender dengan oposisi binernya lekat dengan pembahasan tentang fisik manusia -segala hal yang ada di tubuh fisik manusia-, laki-laki dan perempuan memang diasosiasikan pada manusia atau hewan tetapi dari asosiasi tersebut tanpa sadar manusia juga mengasosiasikan berbagai hal dalam kehidupannya, salah satunya Bahasa. Asosiasi oposisi biner menyebar tidak hanya pada manusia secara fisik tetapi juga hal-hal yang berkaitan dengan kehidupannya, Bahasa menjadi contoh utama dari menyebarnya narasi oposisi biner gender karena Bahasa adalah media yang menjembatani manusia berkomunikasi di kehidupan sosial mereka. Suatu perkumpulan manusia dan kemudian membentuk masyarakat yang disebut sosial mudah ditandai dengan adanya Bahasa sebagai media komunikasi, ketika Bahasa yang berkembang adalah Bahasa yang bineristik maka sedalam dan sejauh itu pula ideologi oposisi biner gender terinternalisasi di masyarakat tersebut. Internalisasi tersebut telah jauh masuk ke dalam institusi sosial dan sulit untuk menemukan istilah lain “Even languages refuse other possibilities; thus to write Levi Suydam Ihave had to invent conventions s/he and his/her to denote someone who is clearly neither male nor female or who is perhaps both sexes at once.”(Sterling, 1993), narasi atau ideologi lain yang berusaha membuka jalan keluar dari dikotomi gender tersebut mengalami kesulitan menghadapi realita oposisi biner tersebut telah tertanam sebegitu kuatnya.

Bahasa sebagai media komunikasi, menghubungkan kepentingan dan maksud manusia secara langsung dan tidak langsung. Komunikasi langsung (berbicara) pada zaman dahulu harus dilakukan langsung berhadapan secara fisik, tetapi di era modern komunikasi langsung tidak harus memerlukan kehadiran fisik dan digantikan oleh adanya jaringan pesawat telepon atau mungkin yang lebih canggih, jaringan internet. Komunikasi mengalami perubahan besar sejak jaringan internet ditemukan, meskipun komunikasi sendiri sudah pernah mengalami perubahan ketika telegraf dan jaringan telepon ditemukan, tetapi perubahan tersebut tidak sebesar ketika jaringan internet ditemukan. Internet memungkinkan manusia untuk menatap wajah lawan bicaranya tanpa harus bertemu secara fisik, tentu telegraf dan jaringan telepon tidak bisa memfasilitasi hal tersebut.

Narasi genderless technology di kehidupan masa depan.

Kehidupan manusia di masa depan hampir tidak mungkin terlepas dari teknologi dan jaringan internet, salah satu teknologi yang direncanakan masuk ke dalam narasi genderless adalah Voice user interfaces (VUIs). VUIs adalah teknologi untuk menghasilkan suara mirip suara manusia yang bertujuan untuk berinteraksi dengan manusia (pengguna computer atau internet), selama ini teknologi VUIs memiliki bias gender dan seringkali menghasilkan ambiguitas gender dalam komunikasinya. Narasi genderless voice beberapa tahun terakhir mulai disuarakan untuk menampung hak-hak orang yang tidak termasuk ke dalam kategori laki-laki dan perempuan, terlebih menurut UNESCO selama ini VUIs yang dikembangkan dirasa sexist kepada perempuan “In the simplest terms, UNESCO reported how the current design of voice assistants is sexist against women, whereas Q is a tool for the advocation of breaking down the gender binary.”(Sutton, 2020), Q adalah suara yang dirancang agar keluar dari dikotomi gender dan tidak mendiskriminasi kategori manapun dari atau diluar dikotomi gender. Tetapi lebih lanjut Sutton juga mengatakan bahwa konsep genderless sendiri akan bermasalah dan lebih menyebut Q sebagai gender ambiguous, Q merupakan teknologi yang memelopori gender-biasless dalam perkembangan teknologi dan Sutton menamakan suara hasil Q sebagai gender ambiguous.

Gender ambiguous menjadi pilihan Bahasa Sutton ketika menyebut suara Q, menurutnya hal tersebut lebih relevan untuk disebut karena istilah genderless atau gender neutral sendiri ternyata dalam beberapa hal masih menimbulkan masalah. “This is because we bring gendered expectations when we process voice, expectations that we develop through experience, and it is highly likely that for the vast majority of the populations of western societies that these expectations are within the gender binary framework.” (Sutton, 2020), proses produksi suara Q yang dilakukan oleh manusia tidak terlepas dari ekspektasi dan pengalaman mereka yang terdikotomi kedalam proposisi biner gender selama hidup mereka, sejak kecil hingga dewasa, setiap hari.

Selain VUIs, teknologi lain adalah humanoid robotics yang sedang dikembangkan akhir-akhir ini. Humanoid robotics dikembangkan dengan tujuan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan domestic manusia, beberapa perusahaan berusaha mengembangkan humanoid robotics dengan menggunakan suara perempuan. Asosiasi suara perempuan (feminine) tersebut berlatar belakang subordinasi perempuan dengan asosiasi perempuan dengan ranah domestic sehingga usaha tersebut mendapat beberapa kritik yang mengatakan bahwa perusahaan pengembang humanoid robotics mengamini patriarki dan melanggengkan subordinasi perempuan. Tetapi perusahaan pengembang memiliki data tersendiri kenapa tetap menggunakan suara feminine “Gender representation does affect users in everyday home use scenarios, as most users would be more comfortable with a feminine robot in their home use. Some may even not want to use a robot with male features, as they could find it more threatening than a female robot.” (Šerić & Fong, 2017), ternyata karena memang pemakai humanoid robotics yang lebih nyaman dengan fitur-fitur feminine.

Narasi genderless di kalangan pemakai humanoid robotics memang kurang popular, tetapi di kalangan pengkritik “femalehumanoid robotics beberapa meyakini bahwa genderless adalah jalan keluar dari dikotomisasi gender dan anggapan subordinasi perempuan.

Kesimpulan

konsep gender yang terinternalisasi dalam kebudayaan manusia dengan berbagai nama masyarakat, di masa depan akan berhadapan dengan teknologi yang bersifat beyond human antara lain VUIs yang termasuk ke dalam Artificial intelligence dan humanoid robotics dimana dua contoh ini adalah teknologi yang akan bersinggungan dengan kehidupan sosial manusia secara langsung. Ketersinggungan sosial ini mengharuskan teknologi tersebut memiliki identitas gender minimal pengenalan suara yang bersifat feminine atau maskulin, narasi genderless dianggap mampu menjadi dalan keluar dari kategorisasi gender yang selama ini dikuasai proposisi biner dan mengesampingkan probabilitas lain seperti yang disebut Fausto-Sterling (1993). Tetapi narasi genderless juga masih jauh dari praktik langsung karena di ranah teoritik masih bermasalah dalam beberapa hal. Sejauh ini, narasi genderless adalah tawaran yang paling rasional dibandingkan dengan akomodasi gender lain di luar dikotomi gender laki-laki dan perempuan untuk kepentingan kehidupan masyarakat masa depan.

Referensi

Fausto-Sterling, A. (1993). The five sexes: Why male and female are not enough. SCIENCES-NEW YORK-, 33, 20–20.

Šerić, A., & Fong, C. Y. (2017). Gender in domestic AI and humanoid robots. Gender in Science & Technology, 34.

Sutton, S. J. (2020, July). Gender Ambiguous, not Genderless: Designing Gender in Voice User Interfaces (VUIs) with Sensitivity. In Proceedings of the 2nd Conference on Conversational User Interfaces (pp. 1–8).

--

--

amien mahendra

Ethnographic connoisseur of social change in the midst of changing life