Subordinasi Pekerja Perempuan ladang pertanian di Afrika selatan dalam Pusaran Logika Patriarki dan Kapitalisme

amien mahendra
5 min readApr 11, 2022

--

Ketidaksetaraan gender adalah term yang berkaitan erat dengan gerakan feminism dengan berbagai gelombangnya, sebaliknya kesetaraan gender adalah hal yang diperjuangkan oleh feminism. Feminism memperjuangkan hak-hak perempuan yang sejak sekian lama tertahan oleh sistem dan kerangka berfikir patriarki atau logika patriarki. Baik laki-laki atau perempuan berhak untuk berada dalam keadaan setara, tidak ada hak laki-laki mendominasi atau mendiskriminasi perempuan dan sesama laki-laki, begitupun sebaliknya perempuan tidak ada hak untuk mendominasi atau mendiskriminasi laki-laki dan sesama perempuan.

Di samping membahas tentang ketidaksetaraan gender dan memperjuangkan kesetaraan, feminism di barat juga membahas dan mengkritik sistem yang masih “with us” dalam kehidupan sehari-hari kita yaitu patriarki. Patriarki memiliki bahasan dan topik yang lebih luas daripada feminism itu sendiri, hah tersebut terjadi karena sistem kerja logika patriarki seringkali tidak Nampak di permukaan tetapi bisa dirasakan jika dikaji secara lebih mendalam. Seperti contoh yang terjadi di Afrika selatan, dimana pekerja perempuan memiliki kerentanan yang besar terhadap penularan HIV/AIDS. “Gender issues impact on all aspects of society and culture, from economic growth to the health and well-being of the overall population.”(Klaas; Makua; Thseweneagae, 2018: 2). Argument penulis jurnal tersebut adalah bahwa isu gender berdampak pada seluruh aspek dari masyarakat dan budaya, dari pertumbuhan ekonomi, kesehatan, dan kesejahteraan keseluruhan populasi. Hal ini menunjukkan bagaimana diskriminasi terhadap satu gender tertentu dalam kasus ini perempuan berakibat pada penurunan kualitas hidup seluruh anggota masyarakat.

Kehidupan petani perempuan (pekerja kebun/lahan) di afrika selatan bersinggungan dengan HIV/AIDS karena lingkungan dan sistem atau pola kerja yang mengharuskan hal tersebut terjadi. Peran gender antara petani laki-laki dan perempuan memiliki andil dalam penyebaran atau penularan HIV di kalangan petani. Terlebih dengan ideology patriarki yang masih melekat dalam pemikiran masyarakat afrika selatan (terutama laki-laki), petani perempuan dikategorikan sebagai pekerja dengan strata paling bawah dengan kerentanan terhadap diskriminasi gender yang besar. Ketidaksetaraan gender berperan besar dalam penularan HIV di komunitas petani afrika selatan. Pola hidup serba kekurangan dengan indikator kemiskinan dan pendapatan yang rendah menjadikan kerentanan terhadap HIV akan semakin tinggi, khususnya bagi perempuan. Kasus di Afrika selatan ini mencontohkan bagaimana patriarki menjadi suatu sistem berfikir atau logika yang mengamini keadaan pekerja perempuan agar selalu berada di kelas yang terbawah dalam strata kelas pekerja kebun atau pertanian di afrika selatan. HIV/AIDS yang menjadi konsekuensi dari sistem patriarki menjadi problem lain di ranah kesehatan, tetapi dalam jurnal tersebut cukup disorot berdampingan dengan sistem patriarki yang menaungi cara kerja pekerja perempuan di afrika selatan tersebut. Akar dari sistem patriarki dijelaskan dalam beberapa kalimat berikut ini, “Women subordination is rooted in a set of customary and legal constraints that block women’s entrance to the public world. Because society holds a false belief that women are naturally less intellectual and physically less capable than men, it tends to discriminate against women in the academics, forum and marketplace” (Klaas; Makua; Thseweneagae, 2018: 2).

Relevansi antara kasus pekerja perempuan di afrika selatan sebenarnya lebih mengarah kepada aspek kesehatan dengan konsekuensi penularan HIV/AIDS, tetapi di sisi lain terdapat relasi yang sama kuatnya dengan relasi antara pekerja perempuan dengan konsekuensi di bidang kesehatan. Relasi tersebut adalah relasi kapitalisme dengan logikanya yang menjadikan pekerja perempuan dalam kasus ini berada pada kondisi yang tersubordinasi dalam berbagai aspek di kehidupan mereka seperti pembagian kerja, akses terhadap literasi, dan akses terhadap layanan kesehatan. Subordinasi ini mengakibatkan adanya pusaran kemiskinan dan pendapatan yang kecil di kalangan pekerja perempuan.

Sistem berfikir patriarki dalam hal ini berkelindan dengan logika kapitalisme, dimana ladang pertanian menjual hasil pertaniannya ke pasar yang merupakan institusi utama dari sistem atau logika kapitalisme. Hal ini relevan dengan argument Sherry Ortner dalam Too Soon for Post-Feminism: The Ongoing Life of Patriarchy in Neoliberal America yang menjadi salah satu fokus pada jurnalnya tersebut “…how patriarchy persists quite vigorously in contemporary society, not only as a thing in itself, but also as a form of power that organizes and shapes major institutions of twenty-first century capitalism: the industrial production site, the military, and the corporation”.(Ortner, 2014: 531). Menjadi relevan karena konteks pekerja ladang pada kasus ini adalah pekerja yang dalam frasa Ortner “the industrial production site” dimana pertanian di Afrika selatan yang dimaksud adalah pertanian modern dengan skala besar, berbeda dengan konsep peasant dalam antropologi yang hampir selalu beriringan dengan subsistensi dan gentry people. Tidak menutup kemungkinan juga jika para pekerja ladang pertanian dalam kasus ini berada dalam relasi dengan aktor kapitalisme yang lebih besar yaitu korporasi, sehingga para pekerja perempuan sangat sulit untuk keluar dari sistem patriarki karena terdapat dua institusi kapitalisme yang mencengkeram mereka untuk mendapat keadaan setara di lingkungan kerja.

Problem-problem pekerja perempuan dalam kasus ini saling mempengaruhi satu sama lain, tetapi awal dari muncul dan eksisnya berbagai problem tersebut adalah cara berfikir patriarki yang diimplementasikan dengan sistem patrarki yang berkelindan dengan logika kapitalisme. Dengan masih mengakarnya cara berfikir dan sistem patrarki pada laki-laki yang rata-rata berkedudukan sebagai mandor ladang, perempuan pekerja akan tetap tersubordinasi dan hidup dalam kondisi yang penuh dengan resiko dan konsekuensi di berbagai aspek kehidupan. Dalam tulisan Ortner terdapat pendapat dari Lila Abu Lughod yang mengkritik feminist barat dengan frasa seperti berikut,

The issues here, to condense severely, include the idea that Western feminism is excessively focused on female autonomy, which is not necessarily seen as a desirable goal by women/feminists in the global south; and that Western feminism is excessively focused on challenging “patriarchy”, when other issues, such as poverty, have greater priority for many women/feminists in the global south.” (Abu-Lughod 2002, 2013 dalam Ortner, 2014: 532).

Abu Lughod mengatakan bahwa fokus gerakan feminism di barat akhir-akhir ini cenderung fokus pada isu otonomi perempuan dan men-challenge patriarki dibandingkan dengan fokus utama feminist global yang lebih memprioritaskan isu lain seperti kemiskinan. Kedua isu yang menjadi perhatian feminist barat maupun feminist secara global menurut analisis saya saling berkaitan seperti pada contoh kasus pekerja perempuan di ladang pertanian Afrika selatan yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan karena sistem patriarki yang menjadi form dalam cara kerja di ladang pertanian. Sehingga terdapat relevansi antara apa yang menjadi fokus kedua kutub feminist yaitu barat dan global, yang sama-sama mengupayakan perbaikan kondisi perempuan yang tersubordinasi dengan berbagai sistem berfikir atau logika baik patriarki maupun kapitalisme.

Referensi :

Klaas, N., Makua, T., Thseweneagae, G., (2018). The role of gender in the spread of HIV and AIDS among farmworkers in South Africa. African Journal of Primary Health Care & Family Medicine.

Ortner, S. (2014). Too Soon for Post-Feminism: The Ongoing Life of Patriarchy in Neoliberal America. History and Anthropology, 25:4, 530–549.

--

--

amien mahendra

Ethnographic connoisseur of social change in the midst of changing life